Minggu, 31 Juli 2011

tajdid

TAJDID PEMIKIRAN ISLAM ERA KLASIK SAMPAI MODERN
Oleh: Anjar Nugroho
Tajdid (pembaharuan) sering digunakan dalam konteks gerakan Islam modern, tetapi istilah ini juga memiliki akar pra-modern yang penting, bahkan bisa menelasar jauh pada masa awal sejarah Islam. Tajdid pemikiran Islam pra-modern biasanya berkaitan dengan tokoh pemurnian (reformator puritanikal) yang dipilih secara khusus untuk memperbaharui cita rasa iman dan model peribadatan kaum muslim. Abu Hamid al-Ghazali adalah contoh mujaddid pra Islam yang gigih melakukan kritik atas pembelokan dan sinkretisasi
(percampurbauran) ajaran Islam oleh para filosof. Setelah itu kemudian muncul nama Ibn Taimiyah yang menolak setiap penggunaan logika dalam khasanah ilmu-ilmu keislaman dan sekaligus menolak prantek-praktek ibadah yang tidak ada dasarnya dalam teks al-Qur’an dan hadist. Paham Ibn Taimiyah ini dihidupkan kembali oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhab lima abad kemudian. Seperti Ibn Taimiyah, ia mengkritik keras dan cenderung mencela kaum mutakallimun, filosof dan sufi.
Mereka disebut sebagai mujaddid klasik karena langkah-langkahnya yang ingin memperbaharui ajaran Islam dari daki-daki sinkretisme, baik oleh paham rasionalisme khas para filosof yang cenderung hellenistik, maupun oleh paham tradisionalisme yang dianggap terlalu adaptatif terhadap tradisi dan budaya lokal.
Akan tetapi, tajdid yang telah mereka lakukan menimbulkan implikasi ketertutupan pintu ijtihad yang bagi sejarah Islam berarti pula era stagnasi (kemandegan) dan kejumudan. Untuk situasi ini, kemudian muncul tajdid era modern yang lebih bercita rasa reformasi yang dikawal diantaranya oleh Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Khairuddin al-Tunisi, Abdurrahman al-Kawakibi dan banyak lainnya. Dorongan gerakan ini berpusat pada disadarinya bahwa masyarakat Muslim gagal mengikuti perkembangan dan kemajuan dalam semua aspek kehidupan. Dan kegagalan ini salah satu sebabnya adalah karena pintu ijtihad telah tertutup rapat-rapat.
Lepas dari model tajdid pemikiran Islam yang dikotomis antara mujaddid pramodern dengan mujaddid modern, secara garis besar sebenarnya terdapat dua aliran pembaharuan pemikiran Islam dalam sejarah Islam, yakni pembaharuan yang beraliran skripturalisme (ahlu al-hadits) dan yang beraliran liberalisme (ahlu ar-ra’yi). Dua aliran ini ketika dilacak akar geneologisnye ternyata sudah muncul pada masa shahabat dan mengemuka pula pada masa sekarang.
Jejak Tajdid Pemikiran Islam Era Klasik
Jejak tajdid pemikiran Islam klasik dapat dilacak dari warisan khasanah kelilmuan klasik (turats) yang kaya dengan varian dan bidang kajian. Turats itu dapat ditemukan dengan mudah di perpustakaan-perpustakaan Islam dan selalu dikaji (marja’) dalam tradisi intelektualisme Islam modern sekarang ini. Tetapi sebenarnya jejak tajdid itu dapat ditelusuri sejak awal Islam, walaupun tentu sulit untuk ditemukan warisan khasanah keilmuannya.
Pada era Sahabat, bisa diambil contoh tajdid pemikiran Islam yang dimotori Umar ibn Khattab saat ia dihadapkan pada kenentuan normatif nash dengan tuntutan realitas. Contoh pemikiran inovatif Umar kala itu adalah saat ia menjabat Khalifah kedua yang mengambil kebijakan untuk tidak membagikan tanah pertanian di Syiria dan Irak yang baru dibebaskan kepada tentara Muslim yang turut berperang, tetapi justru kepada petani kecil setempat, sekalipun mereka ini belum menjadi Muslim. Pemikiran Umar yang menjadi kebijakan Khalifah ini menimbulkan protes keras dari kalangan Sahabat yang lain. Dipelopori Bilal, sang Muadzin Nabi, banyak Sahabat menuduh Umar telah menyimpang dari al-Qur’an, yang menurut mereka, telah jelas menyatakan ke mana saja harta rampasan perang didistribusikan (Q.S. al-Anfal). Lagi pula Nabi sendiri telah pernah membagi-bagi tanah pertanian rampasan serupa itu kepada tentara, yakni tanah-tanah pertanian Khaibar setelah dibebaskan dari kekuasaan Yahudi yang memusuhi Nabi.
Contoh klasik lain yang dapat dikemukakan di sini adalah tindakan Umar yang melarang tokoh Sahabat Nabi menikah dengan perempuan Ahl- al-Kitab (Yahudi dan Nasrani), padahal al-Qur’an jelas membolehkan (Q.S. al-Maidah: 5). Umar tidak berpegang pada makna lahiriyah teks al-Qur’an itu, akan tetapi ia melihat dari perspektif sosio-politik umat Islam yang menurutnya jika perkawinan antar agama diijinkan, maka akan terjadi kasus-kasus penelantaran kaum Muslimah.
 Melihat contoh ini, sebagian ulama memandang bahwa apa yang dilakukan Umar adalah sejenis ijtihad politik (tasharruf siyasi), yang timbul karena pertimbangan kemanfaatan (expediency) menurut tuntutan zaman dan tempat.. Ijtihad Umar, betapapun menimbulkan kontroversi dikalangan Sahabat dan penilaian negatif pada era berikutnya, adalah langkah tajdid pada awal Islam sebagai upaya Umar melakukan kontekstualisasi ajaran Islam dalam sejarah. Umar tidak meninggalkan nash al-Qur’an maupun Sunnah, tetapi ia menggali semangat yang ada pada nash itu untuk diaktualisasikan kembali dalam konteks problem kekinian yang dihadapi umat Islam pada masa Umar. Dapat dikatakan Umar adalah mujaddid pemikiran Islam pertama dalam sejarah Islam.
Jangka waktu sekitar seratus lima puluh tahun sejak Umar melakukan tajdid al-afkar al-Islami, adalah masa banyak sekali diletakkan dasar-dasar perumusan baku ajaran Islam seperti yang dikenal sekarang. Selain munculnya ilmu kalam oleh kaum Mu’tazilah serta falsafah oleh adanya gelombang masuk Hellenisme, pada masa itu terjadi konsolidasi teologi mayoritas umat, yaitu ahlu as-sunnah wa al-jama’ah (aswaja). Epistemologi hukum Islam (fiqh) juga menemukan kerangka bakunya, berkat aktivitas intelektual para ulama besar fiqh, khususnya para Imam Madzab (Abu Hanifah, Anas ibn Malik, Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal).
Banyak yang menyebut, Abu Hanifah adalah pewaris tradisi rasionalisme Umar ibn Khattab. Ia memang sangat sedikit meriwayatkan hadis, karena Abu Hanifah sangat memperketat syarat-syarat penerima hadis. Kurangnya hadis pada masa Abu Hanifah karena ia tidak merasa puas dengan menyampaikan hadis saja, ia menguji hadis dengan pertimbangan psikologis dan konteks sosial. Madzab Hanafi adalah madzab yang frekwensi penggunaan akalnya lebih banyak. Akal lebih dipentingkan dalam proses pengambilan hukum daripada hadis. Contoh kasus dalam hal ini adalah pemikiran Abu Hanifah tentang kedudukan wali dalam perkawinan. Menurut hadis, perkawinan tidak sah kecuali dengan melibatkan wali dan dua orang saksi. Tetapi Abu Hanifah mensyahkan perkawinan tanpa wali dengan pertimbangan bahwa Muslimah saat itu adalah perempuan-perempuan cerdas dan mandiri yang bisa mengurus dan menentukan nasibnya sendiri, termasuk kemandirian dalam memutuskan dengan siapa ia menikah.
Pada era klasik, pemikir teologi terkemuka yang sukses menempatkan ilmu kalam dalam bangunan intelektual Islam adalah Abu al-Hasan al-Asy’ari. Ia berhasil mengkonvergensi antara paham Jabariyyah dan Qadariyyah, antara dogmatisme kaum Sunni konservatif dengan rasionalisme sistem teologi kaum Mu’tazilah. Asy’arisme, seperti halnya ilmu Kalam pada umumnya, adalah produk intelektual orang Islam dalam upaya mereka memahami agama secara lebih sistematis, dalam bentuk “suatu faham teologis yang di bangun di atas metodologi skolastik dan Aristotelian”. Justru karena hakekatnya yang moderat, merupakan jalan tengah antara dogmatisme dan liberalisme, maka ilmu Kalam al-Asy’ari cepat menjadi sangat populer di kalangan umat Islam.
Tetapi, aktifitas intelektualisme dunia pemikiran Islam klasik, khususnya falsafah, sama sekali tidak berhenti dan tuntas dengan tampilnya moderatisme pemikiran teologi Asy’ariyah. Berbeda dengan ilmu Kalam yang merupakan intelektualisme memasyarakat (popular intelectualism), falsafah masih tetap merupakan aktifitas intelektual pribadi dalam suatu gaya yang elitis. Para filosof selalu memandang dirinya sebagai al-Khawwash (orang-orang khusus/spesial) yang berbeda dari kelompok al-Awwam (kaum kebanyakan). Dan justru saat al-Asy’ari sibuk mengkonsolidasi metodologi Kalamnya, falsafah memperoleh momentumnya yang baru dengan tampilnya Muhammad Abu Nashr al-Farabi.
Sebagai seorang filosof, al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tetapi dengan kompetensi, kreatifitas, kebebasan berfikir (liberalisasi) dan tingkat kecanggihan (sofistikasi) yang lebih tinggi. Jika al-Kindi dipandang sebagai filosof Muslim pertama dalam arti yang sebenarnya, al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar epistemologi filsafat Islam. Maka setelah Aristoteles sang “guru pertama” (al-mu’allim al-awwal), al-Farabi dalam dunia intelektual Islam diposisikan sebagai “guru kedua” (al-mu’allim al-tsani).
 Setelah dunia falsafah mencapai puncak kejayaan pada masa al-Farabi dan Ibn Sina, tampil al-Ghazali (Abu Hamid ibn Muhammad al-Ghazali), seorang pemikir yang dengan dahsyat mengkritik filsafat, khususnya Neoplatonisme al-Farabi dan Ibn Sina. Ia menulis karya polemisnya yang sangat besar dan abadi, Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filosof) adalah, menurut ia sendiri, karena terdorong oleh gejala berkecamuknya pikiran bebas waktu itu yang banyak membuat orang Islam meninggalkan ibadah. Pada akhirnya, al-Ghazali berhasil memberi tempat yang mapan kepada esoterisme Islam dalam keseluruhan paham keagamaan yang dianggap sah dan ortodoks. Implikasinya, pasca Ghazali, umat Islam terkungkung dalam kamar sel nyaman Ghazalisme. Walaupun nyaman, tetapi kemudian mempunyai efek pemenjaraan kreatifitas intelektual Islam, yang konon sampai sekarang.
Tajdid Pemikiran Islam Era Modern
Gema tertupnya pintu ijtihad tidak menghalangi gelombang kesadaran umat untuk mendobrak pintu itu dan memunculkan pemikiran-pemikiran alternatif berikutnya. Masih sejalur dengan tradisi pemikiran di era klasik, perkembangan pemikiran secara dikotomis menempati aras ahlu al-hadis dan ahlu ar-ra’yi, walau dalam konteks kekinian dua poros pemikiran itu telah menurunkan beraneka macam varian baru. Pada dasarnya mereka ingin tampil sebagai gerakan pemikiran alternatif dalam menghadapi perkembangan dunia yang kian modern.
Issa J. Boullata (2001) membagi pemikiran Islam modern menjadi dua kecenderungan, yaitu konservatif-tradisionalis dan progresif-modernis. Menurutnya, kelompok konservatif-tradisional adalah gerakan pemikiran yang memiliki pola pikir dengan frame klasik (salaf). Mereka sangat membanggakan kemajuan dan kejayaan Islam masa lampau, dan untuk membangun kamajuan dan kejayaan peradaban Islam masa mendatang, pemikiran Islam harus berbasis metodologi pemikiran Islam klasik (past oriented). Adapun kelompok progresif-modernis adalah gerakan pemikiran yang mengidealkan tatanan masyarakat Islam yang modern, dengan kata lain, gerakan pemikiran yang berorientasi ke masa depan (future oriented). Pola berfikir mereka tidak keluar dari frame metodologi Barat yang mereka klaim sebagai satu-satunya alternatif untuk membangun peradaban Islam modern. Gerakan pemikiran ini secara mayoritas diwakili oleh kalangan yang pernah belajar dan berinteraksi dengan pemikiran Barat.
Pemikiran Islam tradisional-konservatif lebih dikenal – dalam istilah Arab – sebagai kelompok ‘salafiyah’. Menurut ‘Abd al-Mun’im al-Hifni (1993), bahwa golongan salafiyah adalah mereka yang mengajak kembali kepada perilaku para ulama salaf (al-salaf al-shalihin), yaitu mereka yang hidup dalam tiga generasi pertama, yakni Sahabat Nabi SAW., Tabi’in dan Atba’ Thabi’in.
 Karakteristik pokok kelompok ini antara lain; pertama, argumennya harus jelas diambil dari al-Qur’an dan al-Hadis. Kedua, penggunaan rasio harus sesuai dengan nash-nash yang shahih. Ketiga, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Taimiyah, bahwa dalam konteks aqidah harus bersandar kepada nash-nash saja. Mereka mempercayai dan hanya menerima nash per se, karena itu yang bersumber dari Allah. Adapun rasio hanya berfungsi sebagai pembenar (tashdiq) dan saksi (syahid), bukan sebagai penentu (hakimi).
Tipologi kelompok ini diwakili oleh mayoritas pemikir keagamaan yang sangat committed kepada Islam sebagai doktrin seluruh aspek kehidupan. Kelompok ini percaya sepenuhnya kepada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif untuk kebangkitan kembali sejarah kegemilangan kaum Muslim. Menurut kelompok ini, umat Islam harus kembali kepada ajaran asli Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Usaha penyucian Islam dari ajaran-ajaran asing baik yang berasal dari dalam (bid’ah kaum Muslim) maupun dari luar (Barat dan modernitas) menjadi agenda utama untuk mencapai keaslian ajaran Islam (Ashlah al-Islamiyah). Kemunduran yang dialami kaum Muslim sekarang ini disebabkan jauhnya mereka dari ajaran Islam. Usaha Islamisasi untuk segala aspek kehidupan Muslim menjadi agenda utama. Dari masalah etika, tingkah laku secara individu maupun sosial, hingga ilmu dan landasan epistemologi yang akan diserap oleh mereka, harus diislamkan, agar seluruh gerak dan tindakan yang hendak dilakukan oleh kaum Muslim adalah Islamis. Sejarah Islam yang panjang terlalu suram untuk dijadikan model emulasi. Pemimpin dan khalifah pada zaman yang disebut era kegemilangan Islam tidak lebih dari kaum hedonistik yang identik dengan wanita, minuman keras dan cerita 1001 malam. Kalaupun ada jasa mereka, tidak lebih dari memasukkan unsur kebid’ahan Yunani lewat apa yang dinamakan falsafah. Dan kaum Muslim semakin menjauh saja dari ajaran asli Islam.
Secara umum, tipologi reformistik adalah kecenderungan yang meyakini bahwa antara turats dan modernitas kedua-duanya adalah baik. Masalahnya, bagaimana menyikapi keduanya dengan adil dan bijak. Adalah salah memprioritaskan satu hal dan merendahkan yang lain, karena, kalau mau jujur, kedua-duanya bukan milik umat Islam sekarang; turats milik orang lampau dan modernitas milik Barat. Mengambil satu dan membuang yang lain adalah gegabah, dan membuang kedua-duanya adalah konyol. Yang adil dan bijak adalah bagaimana mengharmonisasikan keduanya dengan tidak menyalahi akal sehat dan standar rasional, inilah inti dari reformasi itu.
Gerakan reformistik dalam dunia Isam modern telah dimulai dan disemai oleh para pemikir-pemikir Muslim rasionalis semenjak Rifa’at Tahtawi dan al-Tunisi. Puncaknya dalam diri Muhammad ‘Abduh. `Abduh adalah cikal-bakal gerakan reformis yang ada sekarang ini. Hanya, kecenderungan dikotomis untuk menjadi “kiri” atau “kanan” dalam madzhab ‘Abduh semakin intens dan kelihatan. Kelompok kiri penerus ‘Abduh semakin lama semakin kiri dan kelompok kanan juga terus semakin kanan, atau memutuskan diri sama sekali dari kerangka ajaran sang imam, alias menjadi fundamentalis.
Gerakan reformistik adalah proses evolusi madrasah ‘Abduh yang beraliran kiri; pada mulanya adalah ‘Abduh, kemudian Qasim Amin, kemudian ‘Ali ‘Abd al-Raziq, kemudian Imarah dan terakhir Hassan Hanafi. Semakin kemari semakin kiri, dan semakin jauh dari kerangka berpikir sang Imam. Kasusnya sama dengan kelompok kanan, semakin kemari semakin menjadi radikal (perhatikan mata-rantainya: dari ‘Abduh, kemudian Rasyid Ridla, kemudian Hassan al-Banna, dan terakhir Sayyid Quthb).
Kiri Islam lahir dari kesadaran penuh atas posisi tertindas umat Islam, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam tradisional yang sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi pembenaran atas kekuasaan yang menindas. Upaya rekonstruksi ini diawali dengan menjaga jarak terhadap Asy’arisme, pemikiran keagamaan resmi yang telah bercampur dengan tasawuf dan menjadi ideologi kekuasaan, serta mempengaruhi perilaku negatif rakyat untuk hanya menunggu perintah dan ilham dari langit. Hassan Hanafi lebih welcome dengan Mu’tazilah versi Muhammad Abduh yang memproklamirkan kemampuan akal untuk mencapai pengetahuan dan kebebasan berinisiatif dalam perilaku. Juga melanjutkan apa yang dirintis oleh Al-Kawakibi dalam menganalisis faktor-faktor sosial politik untuk membebaskan dan memperkuat kaum muslimin. Dan Kiri Islam juga mewarisi kapabilitas Muhammad Iqbal dan upaya-upayanya dalam “Pembaharuan Pemikiran Keagamaan dalam Islam” (Reconstruction of Islamic Thoughts).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar